DESA MENGEPUNG KOTA


Oleh: Medio Yulistio, SE

Ribuan orang masuk Provinsi Bengkulu melalui (jalur darat) via Rejang Lebong. Itulah judul berita yang menghiasi laman media kita beberapa waktu yang lalu. Apakah mereka para pemudik yang sudah lama merantau sedang kembali ke kampung halaman dalam rangka merayakan hari raya Idul Fitri? Tidak mereka bukanlah pemudik, melainkan “pengungsi”. Meminjam istilah Made Supriatma, pengungsi ekonomi tepatnya.

Seperti yang kita ketahui kondisi perekonomian secara global sedang menuju kearah resesi besar-besaran akibat dari pandemi Covid-19. Seluruh sektor ekonomi sedang dalam grafik terjun bebas. Hampir tak ada lagi produksi yang dilakukan pelaku usaha oleh karena permintaan yang sungguh rendah. Jika produksi tidak berjalan, sudah pasti arus keuangan akan terganggu, neraca tidak seimbang lagi antara biaya dan pendapatan. Tak ada jalan lain, kebijakan pengurangan beban (karyawan) adalah salah satu langkah yang pasti akan diambil oleh seluruh pelaku usaha.

Kejadian sekarang berbeda dengan krisis moneter pada tahun 1998. Pada waktu itu, perekonomian Indonesia selamat karena usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) relatif tidak berdampak. Pada data tahun 2019 kita bisa melihat data bahwa pelaku usaha yang bergerak disektor usaha kecil mikro dan menengah adalah tulang punggung perekonomian di Indonesia yaitu sebesar 59,2 juta unit usaha atau sebanding dengan proporsi usaha sebesar 99.99% dari total keseluruhan pelaku usaha yang ada.

Pada kondisi hari ini, ekonomi ambruk secara keseluruhan. Tidak hanya menimpa usaha-usaha (industri) besar yang notabenenya memiliki sistem imunitas yang baik (permodalan, manajerial, maupun pasar). Tetapi juga ke sendi ekonomi paling mendasar di kehidupan pelaku usaha kecil mikro dan menengah.

Dengan demikian, hal tersebut menjelaskan bahwa masyarakat yang kembali kekampung halamannya bukanlah orang yang sedang menikmati liburan dalam pelaksanaan hari raya. Akan tetapi masyarakat yang kehilangan pekerjaan, dimana pelaku usaha memangkas biaya dengan menutup (sementara) bisnisnya. Apalagi sebagian besar para tenaga kerja kita di kota-kota bergantung disektor informal (diatas 50%) dengan pendapatan hari ke hari. Dengan konsumsi masyarakat yang menurun (30-40%) semenjak wabah ini merebak di Indonesia, tentu berpengaruh langsung pula terhadap pendapatan. Sederhananya, penghasilan menurun, sedangkan biaya hidup tetap seperti biasanya (loss). Tanpa gaji dan penghasilan, maka pulang ke desa adalah pilihan satu-satunya.

Desa Pertahanan Terakhir Suatu Bangsa.

Tadi malam saya berdiskusi oleh wartawan salah satu media cetak di Provinsi Bengkulu dalam kapasitas sebagai direktur Akademi Peradaban Desa. Wawancara ini khusus menangkap wacana tentang pengaruhnya wabah pandemi global Covid-19 terhadap geliat Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Pada kesempatan ini saya menyampaikan, BUMDES tergolong dalam usaha kecil mikro menengah. Tentu persoalan ini sangat berdampak sekali terhadap kehidupan BUMDES ditingkat pedesaan. Bahkan seperti apa yang disampaikan sebelumnya, seluruh pelaku usaha mengalami hal yang sama.

Kedepan tentu sangat penting pemerintah daerah khususnya mengambil kebijakan untuk memproteksi BUMDES. Bukan hanya dari segi permodalan, tapi juga kepada hadirnya regulasi yang berkenaan dengan tugas pemerintah dalam mengintervensi serta menginterupsi pasar. Permintaan harus segera ditingkatkan melalu stimulus kebijakan dan suplai permodalan, jika itu terjadi siklus ekonomi tentu akan kembali berjalan. Sebab distribusi perekonomian harus disebar hingga ketingkatan desa. Jika desa menjadi basis-basis industri, maka pelonjakan terhadap beban angkatan kerja pasti dapat dikendalikan.

Selain dalam semangat pemerataan pembangunan sampai ketingkat pedesaan, program pemerintah dengan distribusi dana desa adalah upaya menjadikan desa sebagai katup pengaman dari ambruknya ekonomi dikota. Dengan memaksimalkan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sumber daya budaya, melalui BUMDES diharapkan desa tidak hanya menjadi mandiri melalui sumber pendapatan yang ada, tetapi juga dengan harapan bahwa seluruh masyarakat didesa dapat berperan secara aktif juga produktif terlibat dalam siklus perekonomian. Jika ini terwujud, surplus pengangguran tidak akan pernah terjadi. Masyarakat tak perlu merantau ke perkotaan untuk mencari kerja.

Tapi kondisinya berbeda dari apa yang kita harapkan. Desa ditempat kita belum mampu menjadi katup pengaman dari runtuhnya ekonomi perkotaan. Apalagi membaca kehidupan desa melalui data statistik yang mengesampingkan begitu banyaknya potensi pembangunan, kita hanya melihat desa sebagai tempat tingginya angka kemiskinan, pengangguran, sumber daya yang rendah dan sebagainya. Karena itulah mungkin para politisi kita meletakkan kebijakan lebih kepada bias perkotaan. Hampir semua kebijakan cenderung hanya memuaskan masyarakat ditingkat perkotaan.

Tentu akan berat bagi desa yang secara ekonomi masih rendah, ditambah lagi dengan hadirnya masyarakat yang kembali kekampung halaman sebagai akibat dari hilangnya mata pencaharian dikota. Akibatnya ini akan menjadi beban ditingkatan desa. Semua pasti khawatir dengan penyebaran wabah virus Corona (Covid-19) ini, tapi juga tidak realistis membiarkan masyarakat kita tinggal dikota tanpa pekerjaan dan kelaparan.

Tidak banyak pilihan atas kebijakan yang ada. Kita dihadapkan dalam situasi yang sangat sulit jika wabah sudah menyebar didesa-desa. Hampir terlambat untuk mengontrol penyebaran antar-kota, antar-provinsi, bahkan antar desa. Padahal belajar dari Vietnam kenapa virus Corona Covid-19 ini bisa diatasi karena mampu memantau pergerakan manusia. Sedangkan pemerintah kita gagal dalam hal itu.

Sekarang sudah waktunya setiap orang berpikir bagaimana penanganan kasus virus Corona (Covid-19) ini bila sampai ketingkat pedesaan. Aparat desa dan seluruh komunitas yang ada harus mengambil langkah-langkah preventif agar wabah ini tidak meluas sampai ditingkat pedesaan. Semakin banyak orang memberikan perhatian kepada desa, orang-orang yang memberikan informasi kepada aparat desa tentang mengisolasi yang sakit; mengkarantina pendatang dari luar – mengisolasi 14 hari bagi pendatang – maupun warga desa yang berpergian keluar. Hanya dengan cara inilah kita mampu memitigasi wabah agar penyebarannya dapat dikendalikan.

Masyarakat ditingkatan pedesaan harus mengambil langkah inisiatif sendiri, tidak banyak yang bisa kita harapkan dari hubungan warga negara dengan pemerintah, pesimis memang, tapi justru pemerintahlah yang butuh kehadiran rakyat saat ini. Hanya membangkitkan kesadaran kolektif yang bisa kita lakukan. Sebab desa adalah benteng terakhir bangsa, jika wabah ini sudah masuk dan menyebar kedesa-desa tanpa terpantau, maka percaya saja kita telah melangkah ke ambang penderitaan secara masif.

Dan kabar buruknya, Dunia telah mewanti-wanti bahwa bakal terjadi musibah peradaban kemanusiaan yang sangat mengerikan, mulai dari ancaman krisis pangan sampai dengan hancurnya kemampuan daya tahan ekonomi yang akan menimbulkan kelaparan bagi ratusan juta manusia.

Setelah ini selesai, kita wajib bertanya ulang  tentang tatanan ekonomi kita. Sebuah tatanan yang menyerahkan “seluruh” akses ekonomi melalui mekanisme pasar bebas, dimana sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak justru “diserahkan” oleh swasta. Disisi lainnya, tak ada sama sekali aktualisasi (wujud) kehadiran negara sebagai bentuk proteksi bagi masyarakat ekonomi rentan, kecuali dalam pidato-pidato dimimbar kampanye.

Wong lautannya luas tapi garamnya impor, itulah negeri Indonesia-ku.